Maka tercatatlah sepucuk kata-kata penuh hikmah:
Adapun hamba bernikah tiadalah pada umur yang muda belia. Hanya pada usia dua puluh empat tahun baharulah ijab kabul terpatri. Maka demikianlah, hamba menyeru sekalian anak muda agar lekas-lekas mendirikan mahligai perkahwinan, tatkala usia masih muda remaja. Ketahuilah, rezeki Allah itu umpama hujan di padang gersang; meskipun tiada tampak pada awalnya, dengan usaha dan doa, maka pasti akan turun mencurah-curah, seperti kata bidalan, "Yang bulat tidak datang bergolek, yang pipih tidak datang melayang."
Tatkala zaman persekolahan, tiadalah hamba berbicara atau bermesra dengan gadis-gadis teman sekelas. Hal sedemikian bagiku ibarat pantang larang yang tak boleh disanggah, umpama api dan sekam yang tiada dapat bersatu. Maka tertawalah hamba dalam kelakar sambil mengingatkan diri, "Tepuk dada, tanyalah selera, sebelum tersasar hidup binasa."
Demikianlah, kata-kata ini dirangka, agar menjadi pedoman kepada sekalian anak bangsa, seperti gurindam pengajaran buat semua:
Jika rezeki kau dambakan
Berusaha jangan ditinggalkan
Doa dipanjat pada yang Esa
Nescaya hidup beroleh bahagia
Adakah 24 tahun itu pernikahan awal
Wahai sekalian yang budiman, mari kita renung akan hikmah zaman ini, tatkala usia dua puluh empat tahun dikira bagai pernikahan muda. Namun, pada zaman silam, andai umur sembilan belas sudah bergelar suami atau isteri, tiada siapa berbicara tentang keanehan itu.
Bukankah pernah terbit kata bidalan, kecil tapak tangan, nyiru ditadahkan, bermaksud jika hajat itu luhur dan restu hadir, usahlah dipandang rendah keikhlasan hati yang menyegerakan pernikahan. Sahabatku, tatkala usia sembilan belas menikah, tidak pula ia menjadi bahan bicara, apatah lagi nista di segenap maya. Tidak pula ia mendadak menjadi guru agama yang lantang di segala penjuru.
Namun kini, dunia maya menjadi gelanggang, ada yang menabur pesanan seolah-olah ustaz, ada pula umpama ustazah. Apakah gunanya kita mengukur kebahagiaan hidup insan lain dengan lensa kita sendiri. Tidakkah dikatakan, yang kurik itu kundi, yang merah itu saga, yang baik itu budi, yang indah itu bahasa.
Usia bukanlah penentu akhlak atau kedewasaan. Dalam gurindam, dikata
Jika hendak menilai insan
Bukan usia jadi pedoman
Timbang akal lihat perbuatan
Barulah kita bijaksana
Maka mari kita sudahi sengketa ini dengan budi pekerti. Jangan dihitung bilangan tahun tetapi timbanglah ketulusan hati. Kerana akhirnya yang menang bukan usia tetapi cinta yang diikat dengan redha.
No comments:
Post a Comment